Minggu, 05 April 2015

Sirah Nabawi Dari Kelahiran Sampai Perkawinan Rasul



A.   Pendahuluan
Nabi merupakan seseorang yang telah dipilih Allah untuk menuntun umatnya ke jalan Allah. Perjalanan Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugasnya sangat tidak mudah, cobaan demi cobaan di alami oleh Nabi. Maka pembahasan tentang kelahiran hingga menikahnya Nabi sangat penting dibahas, sebab dengan mengetahuinya, pembaca dapat mengambil pelajaran dari kehidupan Nabi dari kelahiran hingga menikahnya Nabi.
Kehidupan Nabi yang sangat pahit, dimulai dari meninggalnya Ayahanda Nabi, disusul oleh Ibundanya menjadi pukulan terbesar dalam kehidupan Nabi. Sepeninggalan kedua orang tuanya, Nabi diasuh oleh kakeknya, namun takdir berkehendak lain. Kakek yang sangat menyayanginyapun meninggalkannya, hal itu mengingatkan Nabi dengan rasa sakit yang dialami sebelumnya. Setelah kakeknya tiada Nabi diasuh oleh pamannya, walau Nabi telah ditinggalkan orang tuanya dari kecil Nabi tumbuh sebagai anak yang baik budinya, cerdas, dan jujur bahkan kecerdasan Nabi melebihi anak-anak sebayanya.
Setelah beranjak dewasa Nabi mulai pergi berdagang dengan pamannya. Sebelumnya, Nabi pernah diramal oleh seorang pendeta, dan pendeta itu mengetahui tanda-tanda kenabian pada diri Nabi. Dengan sikap-sikap terpuji yang dimiliki Nabi tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi menjadi orang yang terpilih. Nabi mulai menggeluti dunia perdagangan saat beranjak dewasa, dengan sikapnya yang jujur dan baik budinya seorang wanita kaya bernama Khadijah menaruh hati kepada Nabi maka disinilah awal mula bersatunya Nabi dan Khadijah hingga menikah.
Dari ringkasan diatas kita dapat mencontoh semangat, akhlaq, dan semua perbuatan-perbuatan Nabi. Makalah ini dikerjakan dengan cara study pustaka. Pembahasan dalam makalah ini diawali dari kelahiran hingga pernikahan Nabi. Maka hal-hal yang tidak menyangkut kelahiran hingga menikahnya Nabi tidak dibahas dalam makalah ini.



B.   Nasab Keturunan
Dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Firh (Quraisy) bin Malik Ibnul-Nadhr bin Kinanah, salah seorang anak Nazar bin Ma’ad bin Adnan. Mereka adalah cucu Nabi Ismail bin Ibrahim a.s.. Sedangkan ibunya adalah Aminah bin Wahb al-Zuhriyyah al-Qurasyiyyah.[1]
C.   Perkawinan Abdullah dengan Aminah
Saat Abraha mencoba menyerang Mekkah dan menghancurkan Ka’bah. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abdul Muttalib jatuh pada Aminah bin Wahb bin Abdul Manaf  bin Zuhra, pemimpin suku Zuhra waktu itu. Yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.
Maka pergilah mereka menemui keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya pergi menemui Wahb dan melamar putrinya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abdul Muttalib juga kawin dengan Hala, putri pamannya. Dari perkawinan itu lahirlah Hamzah, paman Nabi yang seusia dengan dia.
Abdullah dengan Aminah tinggal beberapa hari dirumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan orang Arab apabila melangsungkan perkawinan dirumah keluarga pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersama keluarga Abdul Muttalib. Tak lama kemudian Abdullah pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil.
Dalam perjalannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Pada saat itu juga ia pergi ke Gaza dan kembali lagi, kemudian ia singgah ketempat saudara-saudara ibunya di Madinah sekedar untuk beristirahat saat merasa letih dalam perjalanan. Ketika ia hendak pulang dengan kafilah ke Mekah, ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan mereka menyampaikan berita tentang sakitnya itu kepada Abdul Muttalib.[2]
Kemudian ayahnya menyuruh Harith untuk menjemputnya di Madinah dan membawanya pulang setelah sembuh, tapi Abdullah  telah meninggal dunia di Yatsrib (Madinah) dan sudah dikuburkan. Dia meninggalkan warisan untuk putranya yang masih berada dalam kandungan itu sebanyak 5 ekor unta, beberapa ekor kambing dan seorang sahaya bernama Ummu Ai  man, yang kemudian menjadi pengasuh Nabi yang sangat setia.[3]
D.   Kelahiran Nabi Muhammad
Muhammad dilahirkan di Mekkah pada tahun Gajah sekitar tahun 570 M/52 sebelum Hijrah. Tahun ini bersamaan dengan usaha Abraha, penguasa Yaman untuk menghancurkan Ka’bah. Namun, Allah mebinasakan mereka dengan batu-batu sijjil. Kisah ini disebutkan dalam surat Al-fiil.[4]
Orang bahkan tidak mencatat waktu kelahirannya dengan tepat. Kaum muslim hanya mengetahui saat wafatnya, tanggal 12 Rabiul-Awwal atau Senin 8 Juni 632. Kesadaran akan pentingnya hari kelahiran Muhammad baru timbul di zaman Khalifah Umar. Tahun 638, Umar mengajak beberapa sahabat untuk membahas penanggalan islam.
Ibnu Ishaq (85-151 H), penulis biografi Nabi paling awal yang diketahui hanya menulis: “Rasul lahir di hari Senin, tanggal 12 Rabiul-Awwal di tahun Gajah.” Thabari mengutip sembilan hadis mengenai usia Nabi, dua mengatakan usianya 60 tahun, dua mengatakan 65 tahun dan lima mengatakan 63 tahun.[5]
Perhitungan ahli riwayat berbeda-beda dalam menentukan hari, bulan dan tahun Nabi dilahirkan. Tetapi menurut riwayat yang mahsyur Nabi dilahirkan pada malam Isnein 12 Rabi’ulawal tahun Fiel bertepan dengan tanggal 20 Agustus 570 M.[6]
Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, ketika bulan memancarkan sinarnya dengan tenang, sekali lagi Aminah mendengar suara berkata: “ Tidak lama lagi Engkau akan melahirkan tokoh umat ini...kalau dia lahir berdoalah memohon perlindungan untuknya dari Yang Maha Esa dan dari semua yang iri hati dan namailah di Muhammad.”
Pada hari Senin menjelang fajar, Aminah dengan ditemani hanya oleh Jariah-nya yang bernama Barakah Ummu Aiman, mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Disebutkan juga bahwa bidan yang membantu Aminah melahirkan adalah al-Syaffa. Mulanya Aminah merasa takut dan ini sangat wajar, lebih-lebih pada kelahiran pertama, namun itu hanya sejenak karena tanpa menanti lama Aminah melahirkan secara normal sebagaimana semua ibu melahirkan anaknya. [7]
Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muttalib di Ka’bah, bahwa Aminah telah melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat pada anaknya Abdullah. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah, Ia beri nama Muhammad. Nama itu tidak umum dikalangan orang Arab, tetapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu pada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Bani Sa’d), untuk kemudian mereka menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah adat kaum bangsawan Arab di Mekkah.[8]
Pada hari ketujuh dari kelahirannya, Abdul Muttalib menyembelih beberapa ekor binatang dan menjamu karib dan sahabat-sahabatnya. Ketika itu ia ditanya mengapa putra Abdullah dinamainya “Muhammad”, berbeda dengan nama-nama leluhurnya. Abdul Muttalib menjawab: “ Aku mengharap dia terpuji berkali-kali di bumi dan di langit.” Memang, kata Muhammad mengandung arti “terpuji berkali-kali”.
Terlepas apakah nama “Muhammad” adalah nama yang dipilih untuk bayi ini karena ibunya selalu mendengar suara yang memintanya untuk menamai bayinya yang bakal lahir dengan nama tersebut, ataukah itu adalah pilihan kakeknya, yang pasti bahwa ratusan juta manusia setiap hari selalu menyebut nama itu dalam konteks pujian dan penghormatan sebagaimana yang diharapkan kakeknya itu. Bisa jadi juga, kalau anda menolak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Muhammad adalah pilihan “langit” yang dipesankan kepada Aminah, bisa jadi Abdul Muttalib serupa dengan sekian banyak orang yang mengharapkan anak/cucunyalah yang diutus Tuhan untuk menjadi nabi yang beritanya tersebar, khususnya dikalangan Ahl al-Kitab.[9]
E.   Masa Bayi  Hingga Kanak-kanak

Salah satu adat kebiasaan kaum bangsawan Mekkah. Pada zaman jahiliyah, ialah menyerahkan anaknya diasuh dan disusukan oleh perempuan badwi yang berdiam di Badiah. Anak itu biasanya tinggal disitu hingga berumur 7 atau 8 tahun. Maksudnya supaya dalam udara padang pasir yang bersih, perawakan sang anak dapat tumbuh dengan segar dan sehat, supaya di dalam suasana alam yang tiada terbatas itu, sang anak mendapat semangat hidup bebas merdeka dan supaya dari pergaulan orang-orang Badwi yang belum rusak dan tidak banyak bercampur dengan bahasa asing, sang anak dapat mempelajari tutur bahasa yang baik dan fasih lidahnya.

Sementara menunggu pengasuh dari luar kota Nabi Muhammad disusukan oleh Tsuwaibah, sahaya pamannya yaitu Abu Lahab. Sesudah beberapa hari Nabi Muhammad disusukan Tsuwaibah maka datanglah perempuan-perempuan badwi. Tetapi pengasuh-pengasuh  itu biasanya lebih suka mengambil dan mengasuh anak-anak dari keluarga bangsawan yang mampu dan ayahnya masih hidup. Dengan begitu mereka akan mendapat penghasilan lebih banyak.

Diantara perempuan-perempuan dari kabilah Bani Sa’d,  yang terkenal pandai dan baik dalam menyusukan dan mengasuh anak,  salah satunya Halimah bin Abi Zuwaib. Tadinya tidak mau mengasuh dan menyusukan Nabi Muhammad, karena masih mengharap akan mendapat anak yang ayahnya lebih mampu. Kemudian ia berkata kepada suaminya, Harits bin Abdu’luzza: “Saya tidak senang pulang dengan tangan hampa, sedang kawan-kawanku semua pulang dengan membawa anak, baiklah saya ambil anak yatim itu”. Suaminya menjawab: “Tidak ada salahnya, mudah-mudahan Tuhan memberkati kita karena dia”. [10]

Setelah dua tahun berlalu, yang merupakan masa penyusuan yang sempurna, Halimah dengan berat hati mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Namun, ketika mereka bertemu, Halimah merayu Aminah agar membiarkan anaknya lebih lama lagi bersamanya di perkampungan Bani Sa’d. “Kesehatannya disana lebih terjamin,.” Demikian lebih kurang Halimah merayu Aminah agar membiarkan putranya yang ketika itu sudah pandai berjalan agar kembali bersamanya ke perkampungan Bani Sa’d. Dan dengan berat hati Aminah mengijinkan demi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan jiwa anaknya.[11]

Pada masa itu, terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Bahwa saat Muhammad dengan saudaranya  yang sebaya  sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah diluar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari keluarga Sa’d itu pulang sambil berlari dan berkata pada ibu bapaknya “ Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki yang berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah sambil dibolak-balikan”. Lalu Halimah dan suaminya pergi manemui Muhammad yang sedang berdiri dan mukanya pucat pasi. Peristiwa itu membuat mereka ketakutan, kalau anak itu telah kesurupan setan. Maka Muhammad di kembalikan pada ibunya di Mekkah.[12]

Saat itu Nabi telah berumur lima tahun. Dan setahun kemudian beliau dibawa ibunya ke Madinah, bersama dengan Ummu Aiman. Yang bertujuan untuk memperkenalkan dia dengan ibu datuknya, keluarga Bani Najjar dan untuk menziarahi makam ayahnya. Disitu diperlihatkanlah kepadanya rumah ayahnya dirawat dalam sakit matinya dan pusaran tempatnya dikuburkan.

Mereka berdiam disana kira-kira satu bulan, kemudian kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan mereka pulang, tiba-tiba Aminah jatuh sakit lalu meninggal dan dikuburkan di Abwa’ ( nama sebuah desa yang terletak diantara Madinah dan Juhfah, kira-kira 23 mil disebelah selatan kota Madinah).[13]

F.    Muhammad diasuh Kakeknya

Kini Muhammad tinggal bersama kakeknya  Abdul Muttalib (79 tahun) . Seperti kakek lain, Abdul Muttalib memanjakan cucunya yang tidak berayah ini. Sering ia mengajak Muhammad jalan-jalan atau ke ka’bah pada sore hari.[14]

Abdul Muttalib adalah seorang tua yang disegani oleh segenap kaum Quraisy dan kepala dari seluruh kota Mekkah maka ia memiliki tempat istimewa berupa permadani sebagai tempat dudukny sebagai penghormatan bagi kedudukannya yang tinggi dan mulia. Anak-anaknya sendiri tidak ada yang berani menduduki hamparan yang teristimewa yang disediakan untuknya dibawah naungan Ka’bah, di dalam Masjid Haram. Tetapi tidak dengan cucunya Muhammad. Diriwayatkan pada suatu hari ketika Nabi Muhammad hendak mendekati kakeknya yang sedang duduk disana maka paman-pamannya yang berada disekeliling hamparan itu melarangnya agar jangan sampai menginjak hamparan permadani tersebut. Tetapi Abdul Muttalib sendiri berkata, “Biarkan cucuku datang sendiri!” Dan begitu seterusnya setiap Nabi Muhammad datang mendekati kesitu ia dipanggil dan didudukkan kakeknya disisinya.[15]

Kakeknya memelihara Muhammad hingga dia mencapai umur delapan tahun. Disaat itulah kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal kakeknya, pamannya Abu Thalib memeliharanya.[16]

Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang telah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia sehingga ia menangis sambil mengantarkan jenazah kakeknya sampai di tempat peraduan terakhir.[17]

G.  Muhammad diasuh Pamannya
Sepeninggal kakeknya Muhammad diasuh oleh Abu Thalib. Abu Thalib adalah salah satu tokoh keluarga Hasyim, dia adalah salah satu tokoh yang menonjol yang memiliki gelar Sayyid al-Abathih (pemuka aneka wilayah yang luas). Abu Thalib mememberikan perhatian yang besar kepada Muhammad sebab, dia mengetahui Muhammad memiliki budi yang luhur ban kecerdasan yang luar biasa. Suatu ketika, makanan dihidangakan semua anak Abu Thalib bergegas untuk menyantapnya, namun Muhammad tetap tenang, dan mengalah.[18]
Abu Thalib memelihara Nabi sejak beliau berumur delapan tahun hingga tahun kesepuluh kenabian. Pamannya adalah orang yang tidak memiliki harta yang banyak, tapi memilki banyak anak. Maka, Nabi bekerja sebagai pengembala kambing untuk membantu meringankan beban pamannya. Dalam suatu hadis riwayat Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Rasul kecuali dia pasti akan menjadi seorang pengembala kambing.” Maka, para sahabat bertanya, “ Engkau juga wahai Rasulullah?” Belian menjawab, “Ya, saya menggembalakannya dengan mendapat upah dari penduduk Mekkah.”[19]
Sebagai remaja dari golongan lemah, peluang yang tersedia baginya tidak seberapa dengan ekonomi pamannya yang hampir menyentuh kemiskinan. Muhammad menjadi pengembala sewaan demi mendapat uang sekadarnya, dan ketika ekonomi rumah tangga Abu Thalib semakin merosot, Nabi ikut membantu mereka sebagai tambahan belanja dapur. Di masa remaja itu pula lah Muhammad menyaksikan dan mungkin ikut ambil bagian dalam peperangan antar suku.[20]
H.  Perang Fidjar
Nabi telah mengenal senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fidjar. Dinamakan al-Fidjar yang mempunyai arti pendurhaka perang. Karena perang ini terjadi dalam bulan-bulan suci. Pada waktu dimana kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang dan melupakan semua rasa permusuhan serta hidup di dalam suasana aman dan damai.
Tetapi seorang bernama Barradl bin Qais dari kabilah Kinanah tidak mendengarkan larangan dan pantang di dalam bulan suci itu. Ia membunuh Urwah bin Utbah dari kabilah Hawazin, karena sakit hati pekerjaannya diambil oleh Urwah bin Utbah. Maka terjadilah Perang Fidjar yang terjadi pada bulan Haram.[21]
Perang berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu pihak yang anggotanya terbunuh lebih sedikit harus membayar ganti kepada  pihak yang lebih banyak terbunuh anggotanya. Maka Quraisy harus membayar sebanyak duapuluh orang kepada suku Hawazin.
Sejarah tidak memberikan kepastian mengenai umur Nabi saat mengikuti Perang Fidjar. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan umurnya duapuluh tahun. Mungkin sebab terjadinya perbedaan ini karena perang tersebut terjadi selama empat tahun. Pada tahun permulaan Nabi berumur lima belas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu Nabi memasuki umur duapuluh tahun.[22]
I.      Kesepakatan Al-Fudhul

Empat bulan setelah perdamaian itu, terjadi perjanjian “Hilf al-Fudhul”. Perjajian ini dinamai al-Fudhul karena ia serupa dengan perjanjian yang pernah diikat oleh tiga orang bernama Fadhl (bentuk tunggal dari kata fudhul) pada masa Jurhum, atau karena isinya merupakan kesepakatan untuk  membela yang teraniaya dan mengembalikan fudhul mereka (kelebihan yang diambil tanpa hak sehingga merupakan penganiayaan terhadap pihak lain). Hilf al-Fudhul lahir ketika seorang pendatang menjual dagangannya lalu si pembeli menzalimi dan enggan membayarnya. Sang pendatang meminta bantuan, namun tidak digubris. Maka ia berseru mengadu dari puncak bukit Qubais di Mekkah.[23]

Ucapan pedagang itu didengar oleh, Zubair putera Addul Muttalib yang kemudian dia mengumpulkan Bani Hasyim, Zahrah, dan Tamim di rumah Abdullah Bin Jud’an. Mereka disuguhi makanan, lalu mengadakan perjanjian untuk selalu bersama orang-orang yang dizalimi sampai haknya dikembalikan, dan saling menolong.[24]

Bersama Bani Tami, Zubair dari Bani Hasyim atau paman Nabi merupakan salah satu penggagas aturan ini. Ia bersama kemenakannya Muhammad yang turut berikrar. Beberapa tahun kemudian, Muhammad menuturkan, “Aku hadir di rumah Abdullah Ibnu Jud’an pada pembuatan perjanjian yang istimewa. Aku tidak akan menggantikan keikutsertaanku demi segerombol unta merah. Jika sekarang dalam Islam aku diundang untuk menghadirinya, aku akan senang menyambutnya.”[25]

J.     Perkawinan Nabi dengan Khadijah

Pada usia yang keduapuluhlima, Muhammad berangkat ke Syria (Syam) membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar.[26]

Menikahnya Khadijah dengan Muhammad berawal dari Khadijah memberitahukan perasaannya kepada sahabatnya bernama Nufaisah Binti Munyah. Khadijah meminta Nufaisah untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Muhammad, ketika Nufaisah bertemu dengan Nabi Muhammad Nufaisah menanyakan kesiapan Nabi untuk menikah, maka terjadilah dialog antara Nufaisah dan Nabi yang berujung Nabi menerima Kadijah untuk dinikahinya.[27]

Pernikahan Nabi Muhammad dengan Khadijah disepakati oleh kedua belah pihak. Khadijah dinikahkan oleh pamannya Umar bin Asad sebagai walinya, karena ayahnya Khuwalid telah meninggal dunia sejak sebelum perang Fidjar. Dan Nabi Muhammad memberikan dua puluh ekor unta sebagai mas kawin. Inilah awal dari lembaran baru dalam riwayat Nabi Muhammad, lembaran hidup berumah tangga, hidup sebagai seorang suami dan ayah.[28] Khadijah adalah istri pertama Rasulullah dan ibu dari anak-anaknya. Selain itu, Khadijah juga seorang wanita pertama yang masuk islam. Rasulullah tidak pernah menikah dengan wanita manapun selama hidup Khadijah.[29]





BAB III
PENUTUP

A.    Analisis
Proses kelahiran hingga menikahnya Nabi penuh dengan cobaan yang tidak mudah. Nabi ditinggalkan orang-orang tersayangnya, hal itu sangat memukul hati Nabi, Namun cobaan tersebut menggambarkan bagaimana kehendak Allah yang ingin secara langsung mendidik Nabi untuk menjadi seseorang yang kuat. “Bukankankah Allah mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung. Lalu Dia memberikan petunjuk” (QS 95:6-7).
Tanda-tanda kenabian telah terlihat sejak Nabi masih kanak-kanak, berbudi luhur serta kecerdasan yang luar biasa menjadikan Nabi berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Setelah meranjak dewasa Nabi menjadi seseorang yang luar biasa. Maka terpikatklah seorang janda yang cantik paras dan hatinya serta kaya raya dan wanita itulah yang menemani Nabi dalam ikatan pernikahan.


[1] Ahmad al-’Usairy, Sejarah Islam, trans. H. Samson Rahman, MA (Jakarta: Akbar Media, 2012), 79.
[2] MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, trans. ALI AUDAH (Jakarta: Tintomas, 1972), 51–52.
[3] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW (Semarang: WICAKSANA, 1981), 19.
[4] Ahmad al-’Usairy, Sejarah Islam, 79.
[5] H. Fuad Hashem, SIRAH MUHAMMAD RASULULLAH Suatu Penafsiran baru (Bandung: Mizan, 1992), 78–79.
[6] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 19.
[7] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH (Tangerang: Lentera Hati, 2011), 210.
[8] MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, 53.
[9] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH, 213.
[10] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 20–21.
[11] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH, 228.
[12] MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, 55–56.
[13] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 23.
[14] H. Fuad Hashem, SIRAH MUHAMMAD RASULULLAH Suatu Penafsiran baru, 86.
[15] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 24.
[16] Ahmad al-’Usairy, Sejarah Islam, 80.
[17] MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, 60.
[18] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH, 254–255.
[19] Ahmad al-’Usairy, Sejarah Islam, 80–81.
[20] H. Fuad Hashem, SIRAH MUHAMMAD RASULULLAH Suatu Penafsiran baru, 92.
[21] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 28.
[22] MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, 64.
[23] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH, 261–262.
[24] Khalil Abdul Karim, HEGEMONI QURAISY Agama, Budaya, Kekuasaan, trans. M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), 65.
[25] Martin Lings, MUHAMMAD Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, trans. Qamaruddin SF (Jakarta: SERAMBI ILMU SEMESTA, 2009), 64.
[26] Dr. Badri Yatim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 17.
[27] M. Quraish Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS SHAHIH, 274.
[28] H Rus’an, LINTASAN SEJARAH ISLAM di zaman Rasulullah SAW, 36–37.
[29] Ahmad al-’Usairy, Sejarah Islam, 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar