A. Pendahuluan
Nabi merupakan
seseorang yang telah dipilih Allah untuk menuntun umatnya ke jalan Allah.
Perjalanan Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugasnya sangat tidak mudah, cobaan
demi cobaan di alami oleh Nabi. Maka pembahasan tentang kelahiran hingga menikahnya Nabi sangat
penting dibahas, sebab dengan mengetahuinya, pembaca dapat mengambil pelajaran
dari kehidupan Nabi dari kelahiran hingga menikahnya Nabi.
Kehidupan
Nabi yang sangat pahit, dimulai dari meninggalnya Ayahanda Nabi, disusul oleh
Ibundanya menjadi pukulan terbesar dalam kehidupan Nabi. Sepeninggalan kedua
orang tuanya, Nabi diasuh oleh kakeknya, namun takdir berkehendak lain. Kakek
yang sangat menyayanginyapun meninggalkannya, hal itu mengingatkan Nabi dengan
rasa sakit yang dialami sebelumnya. Setelah kakeknya tiada Nabi diasuh oleh
pamannya, walau Nabi telah ditinggalkan orang tuanya dari kecil Nabi tumbuh
sebagai anak yang baik budinya, cerdas, dan jujur bahkan kecerdasan Nabi
melebihi anak-anak sebayanya.
Setelah
beranjak dewasa Nabi mulai pergi berdagang dengan pamannya. Sebelumnya, Nabi
pernah diramal oleh seorang pendeta, dan pendeta itu mengetahui tanda-tanda
kenabian pada diri Nabi. Dengan sikap-sikap terpuji yang dimiliki Nabi tidak dapat
dipungkiri bahwa Nabi menjadi orang yang terpilih. Nabi mulai menggeluti dunia
perdagangan saat beranjak dewasa, dengan sikapnya yang jujur dan baik budinya
seorang wanita kaya bernama Khadijah menaruh hati kepada Nabi maka disinilah
awal mula bersatunya Nabi dan Khadijah hingga menikah.
Dari
ringkasan diatas kita dapat mencontoh semangat, akhlaq, dan semua
perbuatan-perbuatan Nabi. Makalah ini dikerjakan dengan cara study pustaka.
Pembahasan dalam makalah ini diawali dari kelahiran hingga pernikahan Nabi.
Maka hal-hal yang tidak menyangkut kelahiran hingga menikahnya Nabi tidak
dibahas dalam makalah ini.
B.
Nasab Keturunan
Dia
adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin
Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Firh (Quraisy)
bin Malik Ibnul-Nadhr bin Kinanah, salah seorang anak Nazar bin Ma’ad bin
Adnan. Mereka adalah cucu Nabi Ismail bin Ibrahim a.s.. Sedangkan ibunya adalah
Aminah bin Wahb al-Zuhriyyah al-Qurasyiyyah.[1]
C.
Perkawinan Abdullah dengan Aminah
Saat
Abraha mencoba menyerang Mekkah dan menghancurkan Ka’bah. Ketika itu umur
Abdullah anaknya sudah duapuluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan.
Pilihan Abdul Muttalib jatuh pada Aminah bin Wahb bin Abdul Manaf bin Zuhra, pemimpin suku Zuhra waktu itu. Yang
sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat.
Maka
pergilah mereka menemui keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya pergi menemui Wahb
dan melamar putrinya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abdul
Muttalib juga kawin dengan Hala, putri pamannya. Dari perkawinan itu lahirlah
Hamzah, paman Nabi yang seusia dengan dia.
Abdullah
dengan Aminah tinggal beberapa hari dirumah Aminah, sesuai dengan adat
kebiasaan orang Arab apabila melangsungkan perkawinan dirumah keluarga
pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersama keluarga Abdul Muttalib. Tak
lama kemudian Abdullah pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan
meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil.
Dalam
perjalannya itu Abdullah tinggal selama beberapa bulan. Pada saat itu juga ia
pergi ke Gaza dan kembali lagi, kemudian ia singgah ketempat saudara-saudara
ibunya di Madinah sekedar untuk beristirahat saat merasa letih dalam
perjalanan. Ketika ia hendak pulang dengan kafilah ke Mekah, ia menderita sakit
di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannyapun pulang lebih dulu meninggalkan
dia. Dan mereka menyampaikan berita tentang sakitnya itu kepada Abdul Muttalib.[2]
Kemudian
ayahnya menyuruh Harith untuk menjemputnya di Madinah dan membawanya pulang
setelah sembuh, tapi Abdullah telah meninggal
dunia di Yatsrib (Madinah) dan sudah dikuburkan. Dia meninggalkan warisan untuk
putranya yang masih berada dalam kandungan itu sebanyak 5 ekor unta, beberapa
ekor kambing dan seorang sahaya bernama Ummu Ai
man, yang kemudian menjadi pengasuh Nabi yang sangat setia.[3]
D.
Kelahiran Nabi Muhammad
Muhammad
dilahirkan di Mekkah pada tahun Gajah sekitar tahun 570 M/52 sebelum Hijrah.
Tahun ini bersamaan dengan usaha Abraha, penguasa Yaman untuk menghancurkan
Ka’bah. Namun, Allah mebinasakan mereka dengan batu-batu sijjil. Kisah ini
disebutkan dalam surat Al-fiil.[4]
Orang
bahkan tidak mencatat waktu kelahirannya dengan tepat. Kaum muslim hanya
mengetahui saat wafatnya, tanggal 12 Rabiul-Awwal atau Senin 8 Juni 632.
Kesadaran akan pentingnya hari kelahiran Muhammad baru timbul di zaman
Khalifah Umar. Tahun 638, Umar mengajak beberapa sahabat untuk membahas
penanggalan islam.
Ibnu
Ishaq (85-151 H), penulis biografi Nabi paling awal yang diketahui hanya
menulis: “Rasul lahir di hari Senin, tanggal 12 Rabiul-Awwal di tahun Gajah.”
Thabari mengutip sembilan hadis mengenai usia Nabi, dua mengatakan usianya 60
tahun, dua mengatakan 65 tahun dan lima mengatakan 63 tahun.[5]
Perhitungan
ahli riwayat berbeda-beda dalam menentukan hari, bulan dan tahun Nabi
dilahirkan. Tetapi menurut riwayat yang mahsyur Nabi dilahirkan pada malam
Isnein 12 Rabi’ulawal tahun Fiel bertepan dengan tanggal 20 Agustus 570 M.[6]
Diriwayatkan
bahwa pada suatu malam, ketika bulan memancarkan sinarnya dengan tenang, sekali
lagi Aminah mendengar suara berkata: “ Tidak lama lagi Engkau akan melahirkan
tokoh umat ini...kalau dia lahir berdoalah memohon perlindungan untuknya dari
Yang Maha Esa dan dari semua yang iri hati dan namailah di Muhammad.”
Pada
hari Senin menjelang fajar, Aminah dengan ditemani hanya oleh Jariah-nya
yang bernama Barakah Ummu Aiman, mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan.
Disebutkan juga bahwa bidan yang membantu Aminah melahirkan adalah al-Syaffa.
Mulanya Aminah merasa takut dan ini sangat wajar, lebih-lebih pada kelahiran
pertama, namun itu hanya sejenak karena tanpa menanti lama Aminah melahirkan
secara normal sebagaimana semua ibu melahirkan anaknya. [7]
Selesai
bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muttalib di Ka’bah, bahwa Aminah telah
melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah
menerima berita. Sekaligus ia teringat pada anaknya Abdullah. Gembira sekali hatinya
karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya
itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah, Ia beri nama Muhammad. Nama
itu tidak umum dikalangan orang Arab, tetapi cukup dikenal. Kemudian
dikembalikannya bayi itu pada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang
akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Bani Sa’d), untuk kemudian mereka
menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah
adat kaum bangsawan Arab di Mekkah.[8]
Pada
hari ketujuh dari kelahirannya, Abdul Muttalib menyembelih beberapa ekor
binatang dan menjamu karib dan sahabat-sahabatnya. Ketika itu ia ditanya
mengapa putra Abdullah dinamainya “Muhammad”, berbeda dengan nama-nama
leluhurnya. Abdul Muttalib menjawab: “ Aku mengharap dia terpuji
berkali-kali di bumi dan di langit.” Memang, kata Muhammad mengandung arti
“terpuji berkali-kali”.
Terlepas
apakah nama “Muhammad” adalah nama yang dipilih untuk bayi ini karena ibunya
selalu mendengar suara yang memintanya untuk menamai bayinya yang bakal lahir
dengan nama tersebut, ataukah itu adalah pilihan kakeknya, yang pasti bahwa
ratusan juta manusia setiap hari selalu menyebut nama itu dalam konteks pujian
dan penghormatan sebagaimana yang diharapkan kakeknya itu. Bisa jadi juga,
kalau anda menolak riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Muhammad adalah
pilihan “langit” yang dipesankan kepada Aminah, bisa jadi Abdul Muttalib serupa
dengan sekian banyak orang yang mengharapkan anak/cucunyalah yang diutus Tuhan
untuk menjadi nabi yang beritanya tersebar, khususnya dikalangan Ahl al-Kitab.[9]
E.
Masa Bayi Hingga Kanak-kanak
Salah satu adat kebiasaan kaum bangsawan Mekkah.
Pada zaman jahiliyah, ialah menyerahkan anaknya diasuh dan disusukan oleh
perempuan badwi yang berdiam di Badiah. Anak itu biasanya tinggal disitu hingga
berumur 7 atau 8 tahun. Maksudnya supaya dalam udara padang pasir yang bersih,
perawakan sang anak dapat tumbuh dengan segar dan sehat, supaya di dalam
suasana alam yang tiada terbatas itu, sang anak mendapat semangat hidup bebas
merdeka dan supaya dari pergaulan orang-orang Badwi yang belum rusak dan tidak banyak
bercampur dengan bahasa asing, sang anak dapat mempelajari tutur bahasa yang
baik dan fasih lidahnya.
Sementara menunggu pengasuh dari luar kota Nabi
Muhammad disusukan oleh Tsuwaibah, sahaya pamannya yaitu Abu Lahab. Sesudah
beberapa hari Nabi Muhammad disusukan Tsuwaibah maka datanglah
perempuan-perempuan badwi. Tetapi pengasuh-pengasuh itu biasanya lebih suka mengambil dan
mengasuh anak-anak dari keluarga bangsawan yang mampu dan ayahnya masih hidup.
Dengan begitu mereka akan mendapat penghasilan lebih banyak.
Diantara perempuan-perempuan dari kabilah Bani
Sa’d, yang terkenal pandai dan baik
dalam menyusukan dan mengasuh anak,
salah satunya Halimah bin Abi Zuwaib. Tadinya tidak mau mengasuh dan
menyusukan Nabi Muhammad, karena masih mengharap akan mendapat anak yang
ayahnya lebih mampu. Kemudian ia berkata kepada suaminya, Harits bin
Abdu’luzza: “Saya tidak senang pulang dengan tangan hampa, sedang kawan-kawanku
semua pulang dengan membawa anak, baiklah saya ambil anak yatim itu”. Suaminya
menjawab: “Tidak ada salahnya, mudah-mudahan Tuhan memberkati kita karena dia”.
[10]
Setelah dua tahun berlalu, yang merupakan masa penyusuan
yang sempurna, Halimah dengan berat hati mengembalikan Muhammad kepada Aminah.
Namun, ketika mereka bertemu, Halimah merayu Aminah agar membiarkan anaknya
lebih lama lagi bersamanya di perkampungan Bani Sa’d. “Kesehatannya disana
lebih terjamin,.” Demikian lebih kurang Halimah merayu Aminah agar membiarkan
putranya yang ketika itu sudah pandai berjalan agar kembali bersamanya ke
perkampungan Bani Sa’d. Dan dengan berat hati Aminah mengijinkan demi
kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan jiwa anaknya.[11]
Pada masa itu, terjadi cerita yang banyak
dikisahkan orang. Bahwa saat Muhammad dengan saudaranya yang sebaya
sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah diluar pengawasan
keluarganya, tiba-tiba anak yang dari keluarga Sa’d itu pulang sambil berlari
dan berkata pada ibu bapaknya “ Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil
oleh dua orang laki-laki yang berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah
sambil dibolak-balikan”. Lalu Halimah dan suaminya pergi manemui Muhammad yang
sedang berdiri dan mukanya pucat pasi. Peristiwa itu membuat mereka ketakutan,
kalau anak itu telah kesurupan setan. Maka Muhammad di kembalikan pada ibunya
di Mekkah.[12]
Saat itu Nabi telah berumur lima tahun. Dan
setahun kemudian beliau dibawa ibunya ke Madinah, bersama dengan Ummu Aiman.
Yang bertujuan untuk memperkenalkan dia dengan ibu datuknya, keluarga Bani
Najjar dan untuk menziarahi makam ayahnya. Disitu diperlihatkanlah kepadanya rumah
ayahnya dirawat dalam sakit matinya dan pusaran tempatnya dikuburkan.
Mereka berdiam disana kira-kira satu bulan,
kemudian kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan mereka pulang, tiba-tiba Aminah
jatuh sakit lalu meninggal dan dikuburkan di Abwa’ ( nama sebuah desa yang
terletak diantara Madinah dan Juhfah, kira-kira 23 mil disebelah selatan kota
Madinah).[13]
F.
Muhammad
diasuh Kakeknya
Kini Muhammad tinggal bersama kakeknya
Abdul Muttalib
(79 tahun) . Seperti kakek lain,
Abdul Muttalib memanjakan cucunya yang tidak berayah ini. Sering ia mengajak
Muhammad jalan-jalan atau ke ka’bah pada sore hari.[14]
Abdul Muttalib adalah seorang tua yang disegani
oleh segenap kaum Quraisy dan kepala dari seluruh kota Mekkah maka ia memiliki
tempat istimewa berupa permadani sebagai tempat dudukny sebagai penghormatan
bagi kedudukannya yang tinggi dan mulia. Anak-anaknya sendiri tidak ada yang
berani menduduki hamparan yang teristimewa yang disediakan untuknya dibawah
naungan Ka’bah, di dalam Masjid Haram. Tetapi tidak dengan cucunya Muhammad.
Diriwayatkan pada suatu hari ketika Nabi Muhammad hendak mendekati kakeknya
yang sedang duduk disana maka paman-pamannya yang berada disekeliling hamparan
itu melarangnya agar jangan sampai menginjak hamparan permadani tersebut.
Tetapi Abdul Muttalib sendiri berkata, “Biarkan cucuku datang sendiri!” Dan
begitu seterusnya setiap Nabi Muhammad datang mendekati kesitu ia dipanggil dan
didudukkan kakeknya disisinya.[15]
Kakeknya memelihara Muhammad hingga dia mencapai
umur delapan tahun. Disaat itulah kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal
kakeknya, pamannya Abu Thalib memeliharanya.[16]
Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena
kematian kakeknya itu, seperti yang telah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu
sedihnya dia sehingga ia menangis sambil mengantarkan jenazah kakeknya sampai
di tempat peraduan terakhir.[17]
G. Muhammad diasuh Pamannya
Sepeninggal
kakeknya Muhammad diasuh oleh Abu Thalib. Abu Thalib adalah salah satu tokoh
keluarga Hasyim, dia adalah salah satu tokoh yang menonjol yang memiliki gelar Sayyid
al-Abathih (pemuka aneka wilayah yang luas). Abu Thalib mememberikan
perhatian yang besar kepada Muhammad sebab, dia mengetahui Muhammad memiliki
budi yang luhur ban kecerdasan yang luar biasa. Suatu ketika, makanan
dihidangakan semua anak Abu Thalib bergegas untuk menyantapnya, namun Muhammad
tetap tenang, dan mengalah.[18]
Abu
Thalib memelihara Nabi sejak beliau berumur delapan tahun hingga tahun
kesepuluh kenabian. Pamannya adalah orang yang tidak memiliki harta yang
banyak, tapi memilki banyak anak. Maka, Nabi bekerja sebagai pengembala kambing
untuk membantu meringankan beban pamannya. Dalam suatu hadis riwayat Ahmad bin
Hanbal disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang
Rasul kecuali dia pasti akan menjadi seorang pengembala kambing.” Maka, para
sahabat bertanya, “ Engkau juga wahai Rasulullah?” Belian menjawab, “Ya, saya
menggembalakannya dengan mendapat upah dari penduduk Mekkah.”[19]
Sebagai
remaja dari golongan lemah, peluang yang tersedia baginya tidak seberapa dengan
ekonomi pamannya yang hampir menyentuh kemiskinan. Muhammad menjadi pengembala
sewaan demi mendapat uang sekadarnya, dan ketika ekonomi rumah tangga Abu
Thalib semakin merosot, Nabi ikut membantu mereka sebagai tambahan belanja
dapur. Di masa remaja itu pula lah Muhammad menyaksikan dan mungkin ikut ambil
bagian dalam peperangan antar suku.[20]
H. Perang Fidjar
Nabi
telah mengenal
senjata, ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fidjar. Dinamakan
al-Fidjar yang mempunyai arti pendurhaka perang. Karena perang ini terjadi
dalam bulan-bulan suci. Pada waktu dimana kabilah-kabilah seharusnya tidak
boleh berperang dan melupakan semua rasa permusuhan serta hidup di dalam
suasana aman dan damai.
Tetapi
seorang bernama Barradl bin Qais dari kabilah Kinanah tidak mendengarkan larangan
dan pantang di dalam bulan suci itu. Ia membunuh Urwah bin Utbah dari kabilah
Hawazin, karena sakit hati pekerjaannya diambil oleh Urwah bin Utbah. Maka
terjadilah Perang Fidjar yang terjadi pada bulan Haram.[21]
Perang
berlangsung selama empat tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu
perdamaian model pedalaman, yaitu pihak yang anggotanya terbunuh lebih sedikit
harus membayar ganti kepada pihak yang
lebih banyak terbunuh anggotanya. Maka Quraisy harus membayar sebanyak duapuluh
orang kepada suku Hawazin.
Sejarah
tidak memberikan kepastian mengenai umur Nabi saat mengikuti Perang Fidjar. Ada
yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan umurnya
duapuluh tahun. Mungkin sebab terjadinya perbedaan ini karena perang tersebut
terjadi selama empat tahun. Pada tahun permulaan Nabi berumur lima belas tahun
dan pada tahun berakhirnya perang itu Nabi memasuki umur duapuluh tahun.[22]
I.
Kesepakatan Al-Fudhul
Empat bulan setelah perdamaian itu, terjadi perjanjian “Hilf al-Fudhul”.
Perjajian ini dinamai al-Fudhul karena ia serupa dengan perjanjian yang pernah
diikat oleh tiga orang bernama Fadhl (bentuk tunggal dari kata fudhul)
pada masa Jurhum, atau karena isinya merupakan kesepakatan untuk membela yang teraniaya dan mengembalikan
fudhul mereka (kelebihan yang diambil tanpa hak sehingga merupakan penganiayaan
terhadap pihak lain). Hilf al-Fudhul lahir ketika seorang pendatang
menjual dagangannya lalu si pembeli menzalimi dan enggan membayarnya. Sang
pendatang meminta bantuan, namun tidak digubris. Maka ia berseru mengadu dari
puncak bukit Qubais di Mekkah.[23]
Ucapan
pedagang itu didengar
oleh, Zubair putera Addul Muttalib yang kemudian dia mengumpulkan Bani Hasyim,
Zahrah, dan Tamim di rumah Abdullah Bin Jud’an. Mereka disuguhi makanan, lalu
mengadakan perjanjian untuk selalu bersama orang-orang yang dizalimi sampai
haknya dikembalikan, dan saling menolong.[24]
Bersama Bani Tami, Zubair dari Bani Hasyim atau
paman Nabi merupakan salah satu penggagas aturan ini. Ia bersama kemenakannya
Muhammad yang turut berikrar. Beberapa tahun kemudian, Muhammad menuturkan, “Aku
hadir di rumah Abdullah Ibnu Jud’an pada pembuatan perjanjian yang istimewa.
Aku tidak akan menggantikan keikutsertaanku demi segerombol unta merah. Jika
sekarang dalam Islam aku diundang untuk menghadirinya, aku akan senang
menyambutnya.”[25]
J.
Perkawinan Nabi dengan
Khadijah
Pada usia yang keduapuluhlima, Muhammad berangkat
ke Syria (Syam) membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah
lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang
besar.[26]
Menikahnya Khadijah dengan Muhammad berawal dari
Khadijah memberitahukan perasaannya kepada sahabatnya bernama Nufaisah Binti
Munyah. Khadijah meminta Nufaisah untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi
Muhammad, ketika Nufaisah bertemu dengan Nabi Muhammad Nufaisah menanyakan kesiapan
Nabi untuk menikah, maka terjadilah dialog antara Nufaisah dan Nabi yang
berujung Nabi menerima Kadijah untuk dinikahinya.[27]
Pernikahan Nabi Muhammad dengan Khadijah
disepakati oleh kedua belah pihak. Khadijah dinikahkan oleh pamannya Umar bin
Asad sebagai walinya, karena ayahnya Khuwalid telah meninggal dunia sejak
sebelum perang Fidjar. Dan Nabi Muhammad memberikan dua puluh ekor unta sebagai
mas kawin. Inilah awal dari lembaran baru dalam riwayat Nabi Muhammad, lembaran
hidup berumah tangga, hidup sebagai seorang suami dan ayah.[28]
Khadijah adalah istri pertama Rasulullah dan ibu dari anak-anaknya. Selain itu,
Khadijah juga seorang wanita pertama yang masuk islam. Rasulullah tidak pernah
menikah dengan wanita manapun selama hidup Khadijah.[29]
BAB III
PENUTUP
A.
Analisis
Proses kelahiran hingga menikahnya Nabi penuh dengan cobaan yang tidak
mudah. Nabi ditinggalkan orang-orang tersayangnya, hal itu sangat memukul hati
Nabi, Namun cobaan tersebut menggambarkan bagaimana kehendak Allah yang ingin
secara langsung mendidik Nabi untuk menjadi seseorang yang kuat. “Bukankankah Allah
mendapatimu sebagai anak yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai
orang yang bingung. Lalu Dia memberikan petunjuk” (QS 95:6-7).
Tanda-tanda kenabian telah
terlihat sejak Nabi masih kanak-kanak, berbudi luhur serta kecerdasan yang luar
biasa menjadikan Nabi berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Setelah meranjak
dewasa Nabi menjadi seseorang yang luar biasa. Maka terpikatklah seorang janda
yang cantik paras dan hatinya serta kaya raya dan wanita itulah yang menemani
Nabi dalam ikatan pernikahan.
[2] MUHAMMAD
HUSAIN HAEKAL, Sedjarah Hidup Muhammad, trans. ALI AUDAH (Jakarta:
Tintomas, 1972), 51–52.
[7] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN
HADITS-HADITS SHAHIH (Tangerang: Lentera Hati, 2011), 210.
[9] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS
SHAHIH, 213.
[11] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN
HADITS-HADITS SHAHIH, 228.
[18] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN
HADITS-HADITS SHAHIH, 254–255.
[23] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN
HADITS-HADITS SHAHIH, 261–262.
[24] Khalil Abdul
Karim, HEGEMONI QURAISY Agama, Budaya, Kekuasaan, trans. M. Faisol Fatawi
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), 65.
[25] Martin Lings, MUHAMMAD
Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, trans. Qamaruddin SF (Jakarta:
SERAMBI ILMU SEMESTA, 2009), 64.
[27] M. Quraish
Shihab, MEMBACA SIRAH NABI MUHAMMAD SAW. DALAM SOROTAN AL-QUR’AN DAN
HADITS-HADITS SHAHIH, 274.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar