Minggu, 05 April 2015

CONTOH DARI TEORI IBNU KHALDUN PADA PEMBERONTAKAN PKI DI INDONESIA



A.    Pendahuluan
Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan dan agama yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.Suku bangsa merupakan bagian dari suatu negara. Selain itu Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama islam terbesar di dunia. Kedatangan Komunis di Indonesia membuat banyak pertentangan di berbagai daerah. Ajarannya yang berhaluan Marxis dan tujuannya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara komunis merupakan sebab ditentangnya di Indonesia.
Selain itu Komunisme juga bertentangan dengan salah satu sila Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang  Maha Esa”, sedangkan komunisme tidak mempercayai adanya Tuhan atau Atheis. Maka dari itu pembahasan tentang Pemberontakan PKI penting dilakukan, agar kita lebih mengetahui pemberontakan sebagian kelompok rakyat yang dilakukan di negeri ini dan kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu.
Seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah Ibnu Khaldun. “Jarang sekali terjadi suatu negara bisa ditegakkan dengan aman di tempat yang didiami oleh banyak suku dan golongan. Sebabnya karena di tempat semacam itu terdapat perbedaan pandangan dan keinginan. Tiap pandangan dan keinginan dibantu oleh solidaritas sosial yang bisa diharapkan perlindungan. Maka pemberontakan dan penyelewengan sering terjadi, sekalipun negara itu didasarkan atas solidaritas sosial.”[1]
PKI disini merupakan contoh dari teori Ibnu Khaldun pada penerapannnya di Indonesia, yaitu salah satu golongan Komunis yang sangat ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Karena banyaknya penghalang maka berbagai cara dilakukan. Salah satunya dengan melakukan pemberontakan pada pemerintah atau pihak-pihak yang menentangnya. Dan pemberontakan-pemberontakan itu akan dibahas dalam makalah ini.
Penulis akan menggunakan metode Heuristik untuk membahas masalah ini. Heuristik adalah kegiatan menghimpun sumber-sumber atau jejak-jejak sejarah yang ada pada masa lampau. Untuk memperoleh sumber sejarah yang relevan dengan perumusan masalah, maka cara  yang dilakukan adalah melalui studi literatur.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Politik. Selain itu juga untuk  memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Sejarah nasional yang terkait dengan pemberontakan PKI dan untuk  ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah guna memperkaya khazanah dunia ilmu.
Karena terbatasnya waktu dan referensi yang digunakan, maka makalah ini hanya membahas tentang pemberontakan PKI pada tahun 1965 di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Serta berkembangnya komunisme di Indonesia pada tahun 1950-1965, dan  cara penumpasan yang dilakukan oleh pemerintah serta membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya di Indonesia.

B.     Latar Belakang PKI di Indonesia
Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) merupakan gerakan sosialis (Marxist) pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1914bersama J.A Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma. Organisasi ini diorganisir  oleh Hendricus Fransiscus Sneevliet, seorang pemimpin Social Democratic Labor Party di negeri Belanda yag datang ke Indonesia untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya di daerah jajahan negaranya. Ia sampai di Indonesia pada Juni 1913 di Surabaya. Tidak lama setelah itu dia sudah berhasil menggerakan Perserikatan Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP) menjadi organisasi yang berhaluan sosial dan bersikap revolusioner.[2]
Dengan adanya hambatan dari agama dan berbagai bentuk kemajemukan Indonesia. Sneevliet memanfaatkan organisasi Serikat Islam untuk menanamkan ajaran Marxisme. Karena SI dinilai salah satu organisasi yang berkembang pesat di Indonesia. Caranya dengan system keanggotaan rangkap.
Pada kongres ISDV VII yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI Semarang diusulkan agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern). Cabang-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda bertambah luas dan pada bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan kongres di Jakarta dengan menggunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk pertama kalinya.[3]

C.    Berkembangnya PKI di Indonesia Tahun 1950-1965
Sistem pemerintahan demokrasi liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965 adalah kesempatan bagi PKI untuk membangun kembali citra partainya yang sebelumnya pernah melakukan pemberontakan dibeberapa tempat.
Setidaknya dua kali gerakan politik yang dikenal sebagai suatu pemberontakan terhadap RI. Pemberontakan pertama terjadi pada saat negara sedang dilanda berbagai masalah dan kendala pasca proklamasi kemerdekaan, PKI dibawah pimpinan Muso melakukan pemberontakan yang dikenal sebagai pemberontakan Madiun (Madiun Affair). Gerakan Muso itu bertujuan untuk merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Kemudian pemberontakankembali dilakukan pada tahun 1965 yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September 1965 atau disingkat menjadi G30S/PKI atau Gestapu. Peristiwa itu merupakan tragedi nasional dalam sejarah kontemporer Indonesia.
Masa antara 1950-1951, tokoh-tokoh yang bersembunyi pelan-pelan muncul kembali. Sedangkan masa antara 1951-1952, PKI kembali bergerak di bawah tanah sebagai akibat dari aksi mereka dalam pemogokan dan kerusuhan yang terjadi di tahun-tahun itu.[4]
Pada tanggal 4 Februari 1950 Alimin kembali mengaktifkan PKI. Akan tetapi kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan lama, karena  pada bulan Juli 1950 D.N Aidit yang melarikan diri ke luar negeri akibat pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi ke Indonesia bersama M.H. Lukman. Kepemimpinan D.N Aidit semakin kuat setelah tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto dan Sudisman bergabung.
Setelah memperoleh kesempatan  merehabilitasi pada masa demokrasi liberal, D.N Aidit dan kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa untuk mendapat kesempatan duduk dalam pemerintahan PKI perlu mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan politik yang tinggi dan PNI adalah incaran PKI untuk didekati.[5]
Sedangkan pada masa Demokrasi terpimpin cara yang dipakai D.N Aidit untuk meraih kekuasaan adalah dengan memperkokoh persahabatannya dengan Presiden Soekarno. Dengan pengaruh karismatiknya yang luar biasa terhadap seluruh bangsa, Presiden Soekarno memberikan perlindungan kepada PKI dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Menjelang tahun 1965, kaum kiri radikal di Indonesia yang dipunggawai oleh sebuah poros antara Presiden Soekarno dan PKI telah mengorganisasi sekurangnnya 20 juta orang yang tersebar di partai-partai dan berbagai organisasi massa. Aliansi Soekarno-PKI memperoleh dukungan rakyat yang begitu besar.[6]
Musuh PKI yang utama adalah golongan-golongan agama, selain itu PKI juga memandang Angkatan Darat sebagai musuhnya yang terpenting. Karena  bukan hanya AD sebagai ancaman fisik bagi partai, tetapi juga karena alasan ideologi. Pendapat yang hidup dalam tubuh AD menganggap paham komunisme bertentangan dengan ideologi negara yaitu Pancasila. Komunisme melambangkan pertentangan kelas dan penumbangan setiap tata-hidup yang non komunis. Pancasila melambangkan kegotongroyongan serta toleransi. Dan salah satu dari lima sila Pancasila, adalah “ Ketuhanan Yang Maha Esa”, sedangkan komunisme melambangkan atheis.[7]
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba menghadapi TNI-AD dengan melancarkan kritik dan tuduhan keras bahwa TNI-AD tidak bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Bersamaan dengan dilancarkannya kritik dan tuduhan itu, PKI melakukan kekacauan di beberapa daerah, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Pimpinan TNI-AD menilai kritik dan tuduhan yang tidak berdasarkan kebenaran itu supaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya bukti pengacauan oleh PKI di beberapa daerah tersebut. Untuk itu, jajaran TNI-AD melalui wewenangnya selaku Penguasa Perang Daerah menghentikan dan membekukan berbagai bentuk kegiatan PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang berlaku pada waktu itu.[8]

D.    Persiapan Pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 September
Operasi 1 Oktober 1965 di ibukota oleh “Gerakan 30 September” direncanakan dalam serentetan pertemuan yang dihadiri para pemimpin Biro Khusus PKI dan para simpatisan yang ada dalam Angkatan Bersenjata, yang mendapat tugas khusus menjalankan apa yang telah direncanakan.
Setelah persiapan terakhir menjelang pelaksanaan kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh utama dibawah pimpinan Syam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965. Sesuai dengan keputusan rapat terakhir di rumah Syam, gerakan itu diberi nama “Gerakan 30 September”.[9]
Namun, dari referensi lain menjelaskan bahwa gerakan yang rencana awal akan dilakukan pada tanggal 30 September 1965 pukul 04.00, diganti menjadi tanggal 1 Oktober 1965 menjelang dinihari. Perubahan tersebut diputuskan oleh Syam karena pada malam itu persiapan belum tuntas dan para komandan pasukan yang akan memimpin penculikan belum seluruhnya berkumpul pada waktu yang ditentukan.[10]
Tujuan dari kup atau pemberontakan ini bukanlah untuk mencapai rejim komunis yang sejati, melainkan sesuatu yang mereka namakan NASAKOM. Apabila rencana ini berhasil, sangatlah sulit bagi golongan-golongan anti-komunis untuk menghalangi kearah kiri. Namun, situasi akan tetap berbahaya, seandainya AD masih tetap dipimpin oleh Jendral Ahmad Yani dan rekan-rekannya. Oleh karena itu, pimpinan AD harus disingkirkan dan diganti dengan seorang komandan dan kepala staf yang tidak memusuhi PKI. Rencana pergeseran pimpinan AD ini merupakan tahap pertama dalam rencana keseluruhan dan seluruh rencana harus nampak seolah-olah digerakkan oleh kekuatan-kekuatan intern dalam angkatan darat.
Pada tanggal 29 September 1965, pukul 10.00 pagi, Kolonel Abdul Latief mengadakan briefing di Lubang Buaya dengan para pemimpin berbagai kesatuan dari “Gerakan”. Di sini, Latief memberitahukan Hari-H adalah 1 Oktober 1965 dan Jam-J adalah pukul 4.00 pagi.[11]

E.     Pelaksanaan Pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 September
Pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30 Letkol Inf. Untung dengan diikuti Syam, Pono, Brigjen TNI Soeparjo dan Kolonel Inf. A. Latief tiba di lubang buaya. Ia memberikan perintah pelaksanaan kepada seluruh komandopasukan agar segera berangkat menuju ke sasaran masing-masing yang telah di tetapkan.
Pembagian tugas di daerah pusat dan Jakarta sebagai berikut :
1.      Pasukan Pasopati
Bertugas menculik para jenderal pimpinan TNI-AD dan membawanya ke lubang buaya. Diantara jenderal-jenderal yang menjadi incarannya adalah Jenderal A.H. Nasution, Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, Mayjen TNI Haryono M.T., Brigjen TNI Sutojo S., dan Brigjen TNI D.I. Pandjaitan.
2.      Pasukan Bima Sakti
Dipimpin oleh Kapten Inf. Suradi, bertugas pokok menguasai kota Jakarta.
3.      Pasukan Gatot Kaca
Pasukan ini dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno. Satuan ini berfungsi sebagai pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil penculikan serta melakukan pembunuhan dan penguburan korban penculikan.[12]
Bersama dengan gerakan penculikan, mereka juga mengguasai dua buah sarana komunikasi yang vital yaitu Studio RRI Pusat di jalan Medan Merdeka Barat, dan gedung PT Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka Selatan. Melalui RRI yang telah mereka kuasai, pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 Letnan Kolonel Untung menyiarkan tentang Gerakan 30 September. Antra lain diumumkan bahwa gerakan  mereka ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta (Perebutan Kekuasaan).
Gerakan pendadakan yang dilancarkan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 oleh G 30 S/PKI untuk sementara berhasil membingungkan masyarakat. Tapi pada hari itu juga, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto setelah laporanmengenai tejadinya penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan, segera bertindak cepat untuk menguasai keadaan.
Setelah menilai keadaan pada waktu itu, dengan cepat Pangkostrad sampai kepada kesimpulan bahwa : penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi Angkatan Darat adalah merupakan bagian dari usaha perebutan kekuasaan, bahwa pimpinan Angkatan Udara membantu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September.[13]
Ismail Bakri dan kawan-kawannya menilai bahwa Gerakan 30 September di Jawa Barat gagal, karena gerakan tersebut telah dihancurkan di Jakarta. Sehingga markas di Bandung harus ditinggalkan setelah semua dokumen dibakar.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 sesudah Gerakan 30 September gagal, maka untuk menghilangkan jejaknya dalam pembentukan Dewan Revolusi, Letkol Inf. Pratomo pada pagi itu juga berusaha mendirikan apa yang disebut Koordinator Keamanan Kabupaten Pandeglang. Ternyata usaha tersebut gagal sehingga ia harus melarikan diri dan bergabung dengan basis revolusi PKI di Blitar Selatan.[14]
Keadaan yang sama juga terjadi di Semarang, setelah mendapat berita tentang situasi di Jakarta melalui RRI, pada pukul 07.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965. Brigadir Jenderal Soerjosoempoeno, Panglima Daerah Militer Tujuh/ Diponegoro, yang setia pada Angkatan Darat dan bebas dari kup mengadakan briefing di Markas Kodam dengan dihadiri oleh Kolonel A.J. Soejono, Kolonel Soediro, Letnan Kolonel Soeprapto, Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto, Kolonel Purwosutejo dan Sabar Kumbino. Sedangkan dari staf Kodam sendiri yang terang-terangan tidak hadir adalah Kolonel Sahirman dan Kolonel Marjono.
Sementara itu pada pukul 01.00 siang, setelah merebut Stasiun Radio di Semarang, Kolonel Sahirman menyiarkan pengumuman pertama tentang Gerakan 30 September setempat dengan ia sendiri sebagai komandannya. Dalam pengumuman tersebut, ia mengikuti garis Partai sebagaimana yang dilakukan rekannya di Jakarta dalam siaran pagi itu.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 dinihari Pangdam VII/Diponegoro berangkat ke Magelang. Sesampainya di Magelang sekitar pukul 05.30 pagi Panglima memerintahkan kepada Dan Yon Kavaleri 2 Magelang, Letkol Kav. Yasin Husein, bergerak bersama-sama menuju ke Semarang. Pada hari itu juga Semarang dapat dikuasai kembali, sedangkan tokoh-tokoh PKI melarikan diri dan terbunuh.[15]
F.     Penumpasan Pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 September
Penumpasan G30S/PKI di daerah Jakarta dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga, diusahakan sedapat mungkin tanpa bentrokan senjata. Pertama kali diusahakan menetralisasi pasukan-pasukan yang berada di sekitar Medan Merdeka yang dipergunakan oleh pemberontak.
Setelah mengetahui bahwa Stasiun Radio dan Pusat Telekomunikasi berada di tangan musuh, Jenderal Soeharto memutuskan untuk segera membersihkan daerah sekeliling Medan Merdeka dulu, setelah itu baru menuju ke pangkalan udara.[16]
Kemudian Mayor Jenderal Soeharto berbicara melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa gerakn makar 1 Oktober 1965 dinihari dilakukan oleh Gerakan 30 September atau G30S. Antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian saling bekerjasama untuk menumpas G30S/PKI. Gerakan itu telah membentuk Dewan Revolusi Indonesia dan mendomisionerkan Kabinet Dwikora dari pemerintahan yang syah. Pak Harto juga mengatakan bahwa situasi di pusat maupun di daerah dapat dikuasai dan meminta agar masyarakat tetap tenang.[17]
Operasi militer mulai digerakkan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965, dan pada pukul 19.15 pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD) sudah berhasil menduduki gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan  Merdeka tanpa terjadinya pemberontakan.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 diketemukan tempat jenazah para perwira Angkatan Darat yang dikuburkan dalam satu lubang sumur tua. Karena hari sudah gelap dan mengalami kesulitan teknis karena lubang sumur yang berdiameter kurang dari 1 meter dan kedalaman 12 meter, usaha mengangkat para jenazah dari dalam sumur terpaksa ditunda. Keesokan harinya tanggal 4 Oktober 1965 pengangkatan diselesaikan oleh anggota RPKAD dan marinir.
Gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G30S/PKI terus dilakukan, antara lain telah berhasil ditangkap Kolonel A. Latief komandan yang telah dipecat dari Brigade Infanteri I/Kodam V Jaya pada tanggal 9 Oktober 1965. Bekas Letnan Kolonel Untung tertangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah.[18]
Sedangkan penumpasan pemberontakan G30S/PKI di daerah Jawa Tengah Panglima telah menyusun suatu rencana operasi penumpasan sisa-sisa pengikut G30S/PKI tersebut diseluruh Jawa Tengah dengan menggerakkan pasukan-pasukan di bawah komandonya. Di samping itu, untuk membantu memulihkan keamanan dan ketertiban , pemerintah telah mengirimkan RPKAD untuk menumpas sisa-sisa G30S/PKI di Jawa Tengah.[19]
Operasi-operasi yang dimulai pada tanggal 19 Oktober 1965 itu dilancarkan sebulan lebih sampai akhir November 1965. Selama operasi tersebut pimpinan-pimpinan militer kup seperti Letkol Usman Sastrodibroto, Kolonel Maryono, Kolonel Sahirman telah tewas, sedangkan yang lain seperti Mayor Mulyono, Pembantu Letnan Dua Kamil dan lain-lain ditangkap.[20]
Dipandang dari segi militer dengan berhasilnya penumpasan terhadap gembong-gembong pelaku pemberontakan tersebut, maka kekuatan bersenjata G30S/PKI di daerah ini sudah berhasil dihancurkan. Karena itu pasukan RPKAD tanggal 30 Desember 1965 ditarik dari Jawa Tengah kembali ke pangkalan. Pemulihan keamanan dan ketertiban selanjutnya dilaksanakan dalam rangka kegiatan Papelrada membersihkan orpol dan ormas pendukung G30S/PKI. Sementara itu D.N. Aidit tertangkap pada tanggal 22 November 1965 di daerah Jawa Tengah.
Dengan berhasilnya berhasilnya ditangkap dan ditembak mati bekas ketua “Dewan Revolusi” daerah Jawa Tengah itu maka pengaruh dan kekuatan G30S/PKI Jawa Tengah semakin menurun dan pengikutnya di berbagai daerah ikut menyerahkan diri dan anggota-anggota PKI menyatakan membubarkan diri.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, pengaruh pimpinan serta masa G30S/PKI dapat dipatahkan. Kepercayaan kepada pemerintah kembali pulih karena tindakan-tindakan pemerintah yang positif dalam memulihkan keamanan dan ketertiban serta kerjasama pemerintah dan rakyat dalam berbagai tugas negara.
           

G.    Analisis
Dari penjelasan makalah diatas, dapat kita simpulkan bahwa teori dari Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa “Jarang sekali terjadi suatu negara bisa ditegakkan dengan aman di tempat yang didiami oleh banyak suku dan golongan. Sebabnya karena di tempat semacam itu terdapat perbedaan pandangan dan keinginan. Tiap pandangan dan keinginan dibantu oleh solidaritas sosial yang bisa diharapkan perlindungan. Maka pemberontakan dan penyelewengan sering terjadi, sekalipun negara itu didasarkan atas solidaritas sosial.” Benar adanya.
Pada buku Muqaddimah Ibnu Khaldun dicontohkan perlawanan suku Barbar pada pemerintah dengan menolak islam sebagai agamanya. Dalam makalah ini penulis menerapkannya pada Partai Komunis Indonesia yang menolak Pancasila sebagai dasar negara dan menggantinya dengan Komunisme.
Berbagai perlawanan dilakukan oleh suku Barbar, begitu juga dengan Partai Komunis Indonesia, salah satunya dengan pemberontakan yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau yang sering disingkat menjadi G30S/PKI. Walaupun sudah banyak melakukan pemberontakan dimana-mana, namun pemberontakan inilah yang dinilai paling besar dan meninggalkan luka mendalam bagi Indonesia karena dibunuhnya beberapa Perwira Tinggi Indonesia. Selain itu dampak dari pemberontakan ini juga sangat mengerikan, yaitu dibantainya para pengikut dan partisipan PKI dengan cara yang sangat mengerikan. Ratusan ribu jiwa rakyat Indonesia melayang dalam peristiwa pembantaian tersebut.
Kalau kita lihat Indonesia sendiri itu adalah negara dengan Pluralisme yang sangat tinggi. Ratusan suku bangsa, ribuan bahasa dan budaya terangkum menjadi kesatuan yang indah dalam diri Indonesia. Kemajemukan itu tidak membuat Indonesia terpecah belah, karena rakyat Indonesia disatukan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berpegang pada Pancasila.
Namun, setelah datangnya komunis di Indonesia yang berhasil mempengaruhi rakyat Indonesia dari golongan petani dan pekerja untuk bergabung bersamanya membuat Indonesia kisruh untuk beberapa saat. Keinginanya untuk mengganti dasar negara Indonesia dengan Komunisme sangat kuat. Sehingga berbagai cara pun dilakukan. Pemberontakan dilakukan dimana-mana guna merebut kekuasaan dari tangan pemerintah. Tapi usaha kudetanya sia-sia.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dilancarkan sebuah pemberontakan dengan nama Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ini merupakan pemberontakan terbesar yang pernah direncanakan PKI untuk melakukan percobaan kudeta yang kesekian kalinya. Dan pada pemberontakan ini pula PKI berhasil dikalahkan serta ditumpas habis hingga keakarnya. Sejak saat itu dilarangnya Partai Komunis Indonesia di Indonesia, karena mengancam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.


[1]Ibnu Khaldun, MUQADDIMAH IBN KHALDUN, trans. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 201.
[2]Arbi Sanit, BADAI REVOLUSI Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2000), 39.
[3]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 1992), 13.
[4]Subhan sd., LANGKAH MERAH Gerakan PKI 1950-1955, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), 3–4.
[5]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 23–26.
[6]Max Lane, MALAPETAKA DI INDONESIA, trans. Chandra Utama, Cetakan 1 (Djaman Baroe, 2012), 4–5.
[7]Nugroho Notosusanto and Ismail saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, trans. Marzuan Umar (Jakarta: PT Pembimbing Massa, 1968), 3–4.
[8]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 30.
[9]Marwati Djoened Poesponegoro and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI (Jakarta: BALAI PUSTAKA, 1993), 389.
[10]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 77–78.
[11]Nugroho Notosusanto and Ismail saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 15–16.
[12]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 93–95.
[13]Marwati Djoened Poesponegoro and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI, 390–391.
[14]Sekretariat negara Republik Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 103–104.
[15]Nugroho Notosusanto and Ismail saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 33–34.
[16]Ibid., 56.
[17]Mayjen. (Purn.) Samsudin, Mengapa G30S/PKI Gagal ?, Cetakan Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 54.
[18]Marwati Djoened Poesponegoro and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI, 394–396.
[19]Robert Cribb, ed., PEMBANTAIAN PKI DI JAWA DAN BALI 1965-1966 (Yogyakarta: MATA BANGSA, 2003), 277.
[20]Nugroho Notosusanto and Ismail saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar