A.
Pendahuluan
Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan
dan agama yang berbeda-beda antara satu dengan
yang lain.Suku
bangsa merupakan bagian dari suatu negara. Selain itu Indonesia merupakan
negara dengan penduduk yang beragama islam terbesar di dunia. Kedatangan Komunis
di Indonesia membuat banyak pertentangan di berbagai daerah. Ajarannya yang berhaluan Marxis dan tujuannya untuk menjadikan
Indonesia sebagai salah satu Negara komunis merupakan sebab ditentangnya di Indonesia.
Selain itu Komunisme juga bertentangan dengan salah satu sila
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang
Maha Esa”, sedangkan komunisme tidak mempercayai adanya Tuhan atau
Atheis. Maka dari itu pembahasan tentang Pemberontakan PKI penting dilakukan,
agar kita lebih mengetahui pemberontakan sebagian kelompok rakyat yang
dilakukan di negeri ini dan kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah masa
lalu.
Seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam bukunya
Muqaddimah Ibnu Khaldun. “Jarang sekali terjadi suatu negara bisa ditegakkan
dengan aman di tempat yang didiami oleh banyak suku dan golongan. Sebabnya
karena di tempat semacam itu terdapat perbedaan pandangan dan keinginan. Tiap
pandangan dan keinginan dibantu oleh solidaritas sosial yang bisa diharapkan
perlindungan. Maka pemberontakan dan penyelewengan sering terjadi, sekalipun
negara itu didasarkan atas solidaritas sosial.”[1]
PKI disini merupakan contoh
dari teori Ibnu Khaldun pada penerapannnya di Indonesia, yaitu salah satu golongan Komunis yang sangat ingin
menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Karena banyaknya penghalang maka berbagai
cara dilakukan. Salah satunya dengan melakukan pemberontakan pada pemerintah
atau pihak-pihak yang menentangnya. Dan pemberontakan-pemberontakan itu akan
dibahas dalam makalah ini.
Penulis akan menggunakan metode Heuristik untuk membahas masalah ini. Heuristik adalah kegiatan
menghimpun sumber-sumber atau jejak-jejak sejarah yang ada pada masa lampau.
Untuk memperoleh sumber sejarah yang relevan dengan perumusan masalah, maka
cara yang dilakukan adalah melalui studi literatur.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika
Politik. Selain itu juga untuk
memperoleh dan memperkaya pemahaman tentang Sejarah nasional yang
terkait dengan pemberontakan PKI dan untuk
ikut berperan serta dalam kegiatan ilmiah guna memperkaya khazanah dunia
ilmu.
Karena terbatasnya
waktu dan referensi yang digunakan, maka makalah ini hanya membahas tentang
pemberontakan PKI pada tahun 1965 di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Serta berkembangnya
komunisme di Indonesia pada tahun 1950-1965, dan cara penumpasan yang dilakukan oleh pemerintah
serta membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya di Indonesia.
B.
Latar Belakang
PKI di Indonesia
Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) merupakan gerakan
sosialis (Marxist)
pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1914bersama
J.A Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma. Organisasi ini diorganisir oleh Hendricus Fransiscus Sneevliet, seorang
pemimpin Social Democratic Labor Party di negeri Belanda yag datang ke
Indonesia untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dalam hidupnya di daerah
jajahan negaranya. Ia sampai di Indonesia pada Juni 1913 di Surabaya. Tidak
lama setelah itu dia sudah berhasil menggerakan Perserikatan Buruh Kereta Api
dan Trem (VSTP) menjadi organisasi yang berhaluan sosial dan bersikap
revolusioner.[2]
Dengan adanya hambatan dari agama dan berbagai bentuk kemajemukan
Indonesia. Sneevliet memanfaatkan organisasi Serikat Islam untuk menanamkan
ajaran Marxisme. Karena SI dinilai salah satu organisasi yang berkembang pesat
di Indonesia. Caranya dengan system keanggotaan rangkap.
Pada kongres ISDV VII yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 1920 di
kantor SI Semarang diusulkan agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern).
Cabang-cabang Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda bertambah luas dan pada bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda mengadakan kongres di Jakarta dengan menggunakan nama Partai
Komunis Indonesia (PKI) untuk pertama kalinya.[3]
C.
Berkembangnya PKI di
Indonesia Tahun 1950-1965
Sistem pemerintahan demokrasi liberal yang berlangsung
di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965 adalah kesempatan bagi PKI untuk
membangun kembali citra partainya yang sebelumnya pernah melakukan
pemberontakan dibeberapa tempat.
Setidaknya dua kali gerakan politik yang dikenal
sebagai suatu pemberontakan terhadap RI. Pemberontakan pertama terjadi pada
saat negara sedang dilanda berbagai masalah dan kendala pasca proklamasi
kemerdekaan, PKI dibawah pimpinan Muso melakukan pemberontakan yang dikenal
sebagai pemberontakan Madiun (Madiun Affair). Gerakan Muso itu bertujuan untuk
merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Kemudian pemberontakankembali
dilakukan pada tahun 1965 yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September 1965
atau disingkat menjadi G30S/PKI atau Gestapu. Peristiwa itu merupakan tragedi nasional
dalam sejarah kontemporer Indonesia.
Masa antara 1950-1951, tokoh-tokoh yang
bersembunyi pelan-pelan muncul kembali. Sedangkan masa antara 1951-1952, PKI
kembali bergerak di bawah tanah sebagai akibat dari aksi mereka dalam pemogokan
dan kerusuhan yang terjadi di tahun-tahun itu.[4]
Pada tanggal 4 Februari 1950 Alimin kembali
mengaktifkan PKI. Akan tetapi kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan lama,
karena pada bulan Juli 1950 D.N Aidit
yang melarikan diri ke luar negeri akibat pemberontakan PKI-Madiun kembali lagi
ke Indonesia bersama M.H. Lukman. Kepemimpinan D.N Aidit semakin kuat setelah
tokoh-tokoh muda lainnya, seperti Njoto dan Sudisman bergabung.
Setelah memperoleh kesempatan merehabilitasi pada masa demokrasi liberal,
D.N Aidit dan kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa untuk mendapat
kesempatan duduk dalam pemerintahan PKI perlu mengadakan aliansi dengan
kekuatan-kekuatan politik yang tinggi dan PNI adalah incaran PKI untuk
didekati.[5]
Sedangkan pada masa Demokrasi terpimpin cara yang
dipakai D.N Aidit untuk meraih kekuasaan adalah dengan memperkokoh
persahabatannya dengan Presiden Soekarno. Dengan pengaruh karismatiknya yang
luar biasa terhadap seluruh bangsa, Presiden Soekarno memberikan perlindungan
kepada PKI dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Menjelang tahun 1965, kaum kiri radikal di
Indonesia yang dipunggawai oleh sebuah poros antara Presiden Soekarno dan PKI
telah mengorganisasi sekurangnnya 20 juta orang yang tersebar di partai-partai
dan berbagai organisasi massa. Aliansi Soekarno-PKI memperoleh dukungan rakyat
yang begitu besar.[6]
Musuh PKI yang utama adalah golongan-golongan
agama, selain itu PKI juga memandang Angkatan Darat sebagai musuhnya yang
terpenting. Karena bukan hanya AD
sebagai ancaman fisik bagi partai, tetapi juga karena alasan ideologi. Pendapat
yang hidup dalam tubuh AD menganggap paham komunisme bertentangan dengan
ideologi negara yaitu Pancasila. Komunisme melambangkan pertentangan kelas dan
penumbangan setiap tata-hidup yang non komunis. Pancasila melambangkan
kegotongroyongan serta toleransi. Dan salah satu dari lima sila Pancasila,
adalah “ Ketuhanan Yang Maha Esa”, sedangkan komunisme melambangkan atheis.[7]
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba menghadapi
TNI-AD dengan melancarkan kritik dan tuduhan keras bahwa TNI-AD tidak
bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta. Bersamaan dengan
dilancarkannya kritik dan tuduhan itu, PKI melakukan kekacauan di beberapa
daerah, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Pimpinan TNI-AD menilai kritik dan tuduhan yang tidak berdasarkan kebenaran itu
supaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya bukti pengacauan oleh PKI
di beberapa daerah tersebut. Untuk itu, jajaran TNI-AD melalui wewenangnya
selaku Penguasa Perang Daerah menghentikan dan membekukan berbagai bentuk kegiatan
PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang berlaku pada waktu itu.[8]
D.
Persiapan Pemberontakan PKI melalui Gerakan 30
September
Operasi 1 Oktober 1965 di ibukota oleh “Gerakan
30 September” direncanakan dalam serentetan pertemuan yang dihadiri para
pemimpin Biro Khusus PKI dan para simpatisan yang ada dalam Angkatan
Bersenjata, yang mendapat tugas khusus menjalankan apa yang telah direncanakan.
Setelah persiapan terakhir menjelang pelaksanaan
kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh utama dibawah
pimpinan Syam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam
tanggal 30 September 1965. Sesuai dengan keputusan rapat terakhir di rumah
Syam, gerakan itu diberi nama “Gerakan 30 September”.[9]
Namun, dari referensi lain menjelaskan bahwa
gerakan yang rencana awal akan dilakukan pada tanggal 30 September 1965 pukul
04.00, diganti menjadi tanggal 1 Oktober 1965 menjelang dinihari. Perubahan
tersebut diputuskan oleh Syam karena pada malam itu persiapan belum tuntas dan
para komandan pasukan yang akan memimpin penculikan belum seluruhnya berkumpul
pada waktu yang ditentukan.[10]
Tujuan dari kup atau pemberontakan ini bukanlah
untuk mencapai rejim komunis yang sejati, melainkan sesuatu yang mereka namakan
NASAKOM. Apabila rencana ini berhasil, sangatlah sulit bagi golongan-golongan
anti-komunis untuk menghalangi kearah kiri. Namun, situasi akan tetap
berbahaya, seandainya AD masih tetap dipimpin oleh Jendral Ahmad Yani dan
rekan-rekannya. Oleh karena itu, pimpinan AD harus disingkirkan dan diganti
dengan seorang komandan dan kepala staf yang tidak memusuhi PKI. Rencana
pergeseran pimpinan AD ini merupakan tahap pertama dalam rencana keseluruhan
dan seluruh rencana harus nampak seolah-olah digerakkan oleh kekuatan-kekuatan
intern dalam angkatan darat.
Pada tanggal 29 September 1965, pukul 10.00 pagi,
Kolonel Abdul Latief mengadakan briefing di Lubang Buaya dengan para pemimpin
berbagai kesatuan dari “Gerakan”. Di sini, Latief memberitahukan Hari-H adalah
1 Oktober 1965 dan Jam-J adalah pukul 4.00 pagi.[11]
E.
Pelaksanaan Pemberontakan PKI melalui Gerakan
30 September
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30 Letkol Inf. Untung dengan diikuti
Syam, Pono, Brigjen TNI Soeparjo dan Kolonel Inf. A. Latief tiba di lubang
buaya. Ia memberikan perintah pelaksanaan kepada seluruh komandopasukan agar
segera berangkat menuju ke sasaran masing-masing yang telah di tetapkan.
Pembagian
tugas di daerah pusat dan Jakarta sebagai berikut :
1.
Pasukan Pasopati
Bertugas menculik para jenderal pimpinan TNI-AD dan membawanya ke lubang
buaya. Diantara jenderal-jenderal yang menjadi incarannya adalah Jenderal A.H.
Nasution, Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman,
Mayjen TNI Haryono M.T., Brigjen TNI Sutojo S., dan Brigjen TNI D.I.
Pandjaitan.
2.
Pasukan Bima Sakti
Dipimpin oleh Kapten Inf. Suradi, bertugas pokok menguasai kota Jakarta.
3.
Pasukan Gatot Kaca
Pasukan ini dibawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno. Satuan ini
berfungsi sebagai pasukan cadangan yang bertugas menampung tawanan hasil
penculikan serta melakukan pembunuhan dan penguburan korban penculikan.[12]
Bersama dengan gerakan penculikan, mereka juga
mengguasai dua buah sarana komunikasi yang vital yaitu Studio RRI Pusat di
jalan Medan Merdeka Barat, dan gedung PT Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka
Selatan. Melalui RRI yang telah mereka kuasai, pada pukul 07.20 dan diulang
pada pukul 08.15 Letnan Kolonel Untung menyiarkan tentang Gerakan 30 September.
Antra lain diumumkan bahwa gerakan
mereka ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang
akan mengadakan kudeta (Perebutan Kekuasaan).
Gerakan pendadakan yang dilancarkan pada dinihari
tanggal 1 Oktober 1965 oleh G 30 S/PKI untuk sementara berhasil membingungkan
masyarakat. Tapi pada hari itu juga, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
(Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto setelah laporanmengenai tejadinya
penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan, segera bertindak cepat untuk
menguasai keadaan.
Setelah menilai keadaan pada waktu itu, dengan
cepat Pangkostrad sampai kepada kesimpulan bahwa : penculikan dan pembunuhan
terhadap perwira tinggi Angkatan Darat adalah merupakan bagian dari usaha
perebutan kekuasaan, bahwa pimpinan Angkatan Udara membantu gerakan yang
menamakan diri Gerakan 30 September.[13]
Ismail Bakri dan kawan-kawannya menilai bahwa
Gerakan 30 September di Jawa Barat gagal, karena gerakan tersebut telah
dihancurkan di Jakarta. Sehingga markas di Bandung harus ditinggalkan setelah
semua dokumen dibakar.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 sesudah Gerakan 30
September gagal, maka untuk menghilangkan jejaknya dalam pembentukan Dewan
Revolusi, Letkol Inf. Pratomo pada pagi itu juga berusaha mendirikan apa yang
disebut Koordinator Keamanan Kabupaten Pandeglang. Ternyata usaha tersebut
gagal sehingga ia harus melarikan diri dan bergabung dengan basis revolusi PKI
di Blitar Selatan.[14]
Keadaan yang sama juga terjadi di Semarang,
setelah mendapat berita tentang situasi di Jakarta melalui RRI, pada pukul
07.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965. Brigadir Jenderal Soerjosoempoeno, Panglima
Daerah Militer Tujuh/ Diponegoro, yang setia pada Angkatan Darat dan bebas dari
kup mengadakan briefing di Markas Kodam dengan dihadiri oleh Kolonel A.J.
Soejono, Kolonel Soediro, Letnan Kolonel Soeprapto, Letnan Kolonel Usman
Sastrodibroto, Kolonel Purwosutejo dan Sabar Kumbino. Sedangkan dari staf Kodam
sendiri yang terang-terangan tidak hadir adalah Kolonel Sahirman dan Kolonel
Marjono.
Sementara itu pada pukul 01.00 siang, setelah
merebut Stasiun Radio di Semarang, Kolonel Sahirman menyiarkan pengumuman
pertama tentang Gerakan 30 September setempat dengan ia sendiri sebagai
komandannya. Dalam pengumuman tersebut, ia mengikuti garis Partai sebagaimana
yang dilakukan rekannya di Jakarta dalam siaran pagi itu.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 dinihari Pangdam
VII/Diponegoro berangkat ke Magelang. Sesampainya di Magelang sekitar pukul
05.30 pagi Panglima memerintahkan kepada Dan Yon Kavaleri 2 Magelang, Letkol
Kav. Yasin Husein, bergerak bersama-sama menuju ke Semarang. Pada hari itu juga
Semarang dapat dikuasai kembali, sedangkan tokoh-tokoh PKI melarikan diri dan
terbunuh.[15]
F.
Penumpasan Pemberontakan PKI melalui Gerakan
30 September
Penumpasan G30S/PKI di daerah Jakarta dilakukan
pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga, diusahakan sedapat mungkin tanpa
bentrokan senjata. Pertama kali diusahakan menetralisasi pasukan-pasukan yang
berada di sekitar Medan Merdeka yang dipergunakan oleh pemberontak.
Setelah mengetahui bahwa Stasiun Radio dan Pusat
Telekomunikasi berada di tangan musuh, Jenderal Soeharto memutuskan untuk
segera membersihkan daerah sekeliling Medan Merdeka dulu, setelah itu baru
menuju ke pangkalan udara.[16]
Kemudian Mayor Jenderal Soeharto berbicara
melalui radio yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa gerakn makar
1 Oktober 1965 dinihari dilakukan oleh Gerakan 30 September atau G30S. Antara
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian saling bekerjasama untuk
menumpas G30S/PKI. Gerakan itu telah membentuk Dewan Revolusi Indonesia dan
mendomisionerkan Kabinet Dwikora dari pemerintahan yang syah. Pak Harto juga
mengatakan bahwa situasi di pusat maupun di daerah dapat dikuasai dan meminta
agar masyarakat tetap tenang.[17]
Operasi militer mulai digerakkan pada sore hari
tanggal 1 Oktober 1965, dan pada pukul 19.15 pasukan Resimen Para Komando
Angkatan Darat(RPKAD) sudah berhasil menduduki gedung RRI dan Pusat
Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan
Merdeka tanpa terjadinya pemberontakan.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 diketemukan tempat
jenazah para perwira Angkatan Darat yang dikuburkan dalam satu lubang sumur
tua. Karena hari sudah gelap dan mengalami kesulitan teknis karena lubang sumur
yang berdiameter kurang dari 1 meter dan kedalaman 12 meter, usaha mengangkat
para jenazah dari dalam sumur terpaksa ditunda. Keesokan harinya tanggal 4
Oktober 1965 pengangkatan diselesaikan oleh anggota RPKAD dan marinir.
Gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa
G30S/PKI terus dilakukan, antara lain telah berhasil ditangkap Kolonel A.
Latief komandan yang telah dipecat dari Brigade Infanteri I/Kodam V Jaya pada
tanggal 9 Oktober 1965. Bekas Letnan Kolonel Untung tertangkap tanggal 11
Oktober 1965 di Tegal dalam perjalanan melarikan diri ke Jawa Tengah.[18]
Sedangkan penumpasan pemberontakan G30S/PKI di
daerah Jawa Tengah Panglima telah menyusun suatu rencana operasi penumpasan
sisa-sisa pengikut G30S/PKI tersebut diseluruh Jawa Tengah dengan menggerakkan
pasukan-pasukan di bawah komandonya. Di
samping itu, untuk membantu memulihkan keamanan dan ketertiban , pemerintah
telah mengirimkan RPKAD untuk menumpas sisa-sisa G30S/PKI di Jawa Tengah.[19]
Operasi-operasi yang dimulai pada tanggal 19
Oktober 1965 itu dilancarkan sebulan lebih sampai akhir November 1965. Selama
operasi tersebut pimpinan-pimpinan militer kup seperti Letkol Usman
Sastrodibroto, Kolonel Maryono, Kolonel Sahirman telah tewas, sedangkan yang
lain seperti Mayor Mulyono, Pembantu Letnan Dua Kamil dan lain-lain ditangkap.[20]
Dipandang dari segi militer dengan berhasilnya
penumpasan terhadap gembong-gembong pelaku pemberontakan tersebut, maka
kekuatan bersenjata G30S/PKI di daerah ini sudah berhasil dihancurkan. Karena
itu pasukan RPKAD tanggal 30 Desember 1965 ditarik dari Jawa Tengah kembali ke
pangkalan. Pemulihan keamanan dan ketertiban selanjutnya dilaksanakan dalam
rangka kegiatan Papelrada membersihkan orpol dan ormas pendukung G30S/PKI.
Sementara itu D.N. Aidit tertangkap pada tanggal 22 November 1965 di daerah
Jawa Tengah.
Dengan berhasilnya berhasilnya ditangkap dan
ditembak mati bekas ketua “Dewan Revolusi” daerah Jawa Tengah itu maka pengaruh
dan kekuatan G30S/PKI Jawa Tengah semakin menurun dan pengikutnya di berbagai
daerah ikut menyerahkan diri dan anggota-anggota PKI menyatakan membubarkan diri.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, pengaruh
pimpinan serta masa G30S/PKI dapat dipatahkan. Kepercayaan kepada pemerintah
kembali pulih karena tindakan-tindakan pemerintah yang positif dalam memulihkan
keamanan dan ketertiban serta kerjasama pemerintah dan rakyat dalam berbagai
tugas negara.
G.
Analisis
Dari penjelasan makalah diatas, dapat kita
simpulkan bahwa teori dari Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa “Jarang sekali
terjadi suatu negara bisa ditegakkan dengan aman di tempat yang didiami oleh banyak
suku dan golongan. Sebabnya karena di tempat semacam itu terdapat perbedaan
pandangan dan keinginan. Tiap pandangan dan keinginan dibantu oleh solidaritas
sosial yang bisa diharapkan perlindungan. Maka pemberontakan dan penyelewengan
sering terjadi, sekalipun negara itu didasarkan atas solidaritas sosial.” Benar
adanya.
Pada buku Muqaddimah Ibnu Khaldun dicontohkan
perlawanan suku Barbar pada pemerintah dengan menolak islam sebagai agamanya.
Dalam makalah ini penulis menerapkannya pada Partai Komunis Indonesia yang
menolak Pancasila sebagai dasar negara dan menggantinya dengan Komunisme.
Berbagai perlawanan dilakukan oleh suku Barbar,
begitu juga dengan Partai Komunis Indonesia, salah satunya dengan pemberontakan
yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau yang sering disingkat menjadi
G30S/PKI. Walaupun sudah banyak melakukan pemberontakan dimana-mana, namun
pemberontakan inilah yang dinilai paling besar dan meninggalkan luka mendalam
bagi Indonesia karena dibunuhnya beberapa Perwira Tinggi Indonesia. Selain itu
dampak dari pemberontakan ini juga sangat mengerikan, yaitu dibantainya para
pengikut dan partisipan PKI dengan cara yang sangat mengerikan. Ratusan ribu
jiwa rakyat Indonesia melayang dalam peristiwa pembantaian tersebut.
Kalau kita lihat Indonesia sendiri itu adalah
negara dengan Pluralisme yang sangat tinggi. Ratusan suku bangsa, ribuan bahasa
dan budaya terangkum menjadi kesatuan yang indah dalam diri Indonesia.
Kemajemukan itu tidak membuat Indonesia terpecah belah, karena rakyat Indonesia
disatukan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berpegang pada Pancasila.
Namun, setelah datangnya komunis di Indonesia
yang berhasil mempengaruhi rakyat Indonesia dari golongan petani dan pekerja
untuk bergabung bersamanya membuat Indonesia kisruh untuk beberapa saat.
Keinginanya untuk mengganti dasar negara Indonesia dengan Komunisme sangat
kuat. Sehingga berbagai cara pun dilakukan. Pemberontakan dilakukan dimana-mana
guna merebut kekuasaan dari tangan pemerintah. Tapi usaha kudetanya sia-sia.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dilancarkan sebuah
pemberontakan dengan nama Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ini merupakan
pemberontakan terbesar yang pernah direncanakan PKI untuk melakukan percobaan
kudeta yang kesekian kalinya. Dan pada pemberontakan ini pula PKI berhasil
dikalahkan serta ditumpas habis hingga keakarnya. Sejak saat itu dilarangnya
Partai Komunis Indonesia di Indonesia, karena mengancam kesatuan dan persatuan bangsa
Indonesia.
[1]Ibnu Khaldun, MUQADDIMAH IBN
KHALDUN, trans. Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 201.
[2]Arbi Sanit, BADAI REVOLUSI
Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2000), 39.
[3]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Ghalia Indonesia, 1992), 13.
[4]Subhan sd., LANGKAH MERAH
Gerakan PKI 1950-1955, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1996), 3–4.
[5]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 23–26.
[6]Max Lane, MALAPETAKA DI
INDONESIA, trans. Chandra Utama, Cetakan 1 (Djaman Baroe, 2012), 4–5.
[7]Nugroho Notosusanto and Ismail
saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, trans.
Marzuan Umar (Jakarta: PT Pembimbing Massa, 1968), 3–4.
[8]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 30.
[9]Marwati Djoened Poesponegoro
and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI (Jakarta: BALAI
PUSTAKA, 1993), 389.
[10]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 77–78.
[11]Nugroho Notosusanto and Ismail
saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 15–16.
[12]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 93–95.
[13]Marwati Djoened Poesponegoro
and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI, 390–391.
[14]Sekretariat negara Republik
Indonesia, GERAKAN 30 SEPTEMBER PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA Latar
Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 103–104.
[15]Nugroho Notosusanto and Ismail
saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 33–34.
[16]Ibid., 56.
[17]Mayjen. (Purn.) Samsudin, Mengapa
G30S/PKI Gagal ?, Cetakan Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
54.
[18]Marwati Djoened Poesponegoro
and Nugroho Notosusanto, SEJARAH NASIONAL INDONESIA VI, 394–396.
[19]Robert Cribb, ed., PEMBANTAIAN
PKI DI JAWA DAN BALI 1965-1966 (Yogyakarta: MATA BANGSA, 2003), 277.
[20]Nugroho Notosusanto and Ismail
saleh, TRAGEDI NASIONAL PERCOBAAN KUP G 30 S/PKI DI INDONESIA, 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar